Banda Aceh, 11 November 2024 – Di tengah keberagaman budaya dan agama di Indonesia, moderasi beragama menjadi hal yang krusial untuk mempererat persatuan. Saat rapat antarpaguyuban Ikatan Mahasiswa Ar-Raniry Sumatera Utara dan Himpunan Mahasiswa Papua Aceh kami menyempatkan berdialog santai dengan seorang mahasiswa asal Papua yang sedang menempuh studi di Banda Aceh menunjukkan bagaimana keberagaman bisa dijadikan kekuatan, bukan perbedaan yang memecah-belah.
Deo Datus Kombutengga, seorang mahasiswa Teknik Pertanian asal Papua yang saat ini berkuliah Universitas Syiah Kuala, menceritakan pengalamannya tinggal di wilayah yang mayoritas masyarakatnya islam. Deo menuturkan, pada awal kedatangannya ia merasa cemas karena adanya persepsi bahwa perbedaan bisa menimbulkan ketegangan. Namun, seiring waktu, ia justru mampu membangun relasi harmonis dengan masyarakat dan teman-teman kampusnya.
“Saya awalnya merasa ragu untuk melanjutkan beasiswa afirmasi saya karena beberapa anggota keluarga besar saya tidak setuju jika saya kuliah di Banda Aceh, apalagi dengan berita Gerakan Aceh Merdeka yang membuat sedikit khawatir dan latar belakang agama saya berbeda dengan kebanyakan warga di sini. Tetapi ternyata aman saja dan warga Banda Aceh terbuka,” kata Deo.
Ia mengungkapkan bahwa teman-temannya dari berbagai latar belakang sering berdiskusi soal agama dan budaya, tetapi selalu dalam suasana yang saling menghargai.
Deo juga mengatakan sejak awal pertama menjadi mahasiswa ia belum pernah pulang kampung dan sempat 2 kali ikut ke kampung halaman temannya di Lhoksukon dan Aceh Selatan untuk menghadiri acara pernikahan, hal tersebut membuat ia merasa bahwa dia dihargai dan tidak dibedakan karena perihal perbedaan agama.
Deo juga mengatakan bahwa ia tidak pernah mengalami diskriminasi, toleransi masyarakat sekitar cukup tinggi. Ia juga menyampaikan bahwa mematikan lampu dan berhenti aktivitas sejenak saat magrib itu bagus dan perlu diterapkan di daerah lain.
“Dosen wali saya di Universitas Syiah Kuala juga selalu memberikan saya nasehat itulah sebabnya mengapa saya sekarang sudah nyaman dan terbiasa menjalani semuanya walaupun sebagai minoritas”,
Ujar Deo.
Dalam diskusi tersebut, Deo menyampaikan pandangannya tentang pentingnya moderasi beragama, terutama di Aceh yang memiliki keberagaman agama dan budaya yang kaya. Menurut Deo, sikap moderat dalam beragama sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan di tengah masyarakat yang plural. “Moderasi beragama bukan hanya tentang mengurangi sikap ekstrem, tapi lebih kepada menjaga keseimbangan, memahami, dan menghormati satu sama lain dalam beragam keyakinan,” ucap Deo.
Kisah Deo adalah bukti nyata bahwa moderasi beragama dapat dijalankan dengan toleransi dan sikap saling menghargai.
Penulis, Annisa Fitri Sinaga dan Wizura Syam adalah Mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.